Rabu, 16 Maret 2022

PERTEMUAN SINGKAT DENGAN MBAH SUPARMO: PELAKU SENI KENTRUNG JEPARA

  


Mendung menggantung di langit daerah Pati utara, ketika itu medio akhir November 2021, saya dan mas Juna ( koordinator Patra Literasi) berangkat naik motor berboncengan dengan membawa terbang/rebana besar yang saya pinjam dari group rebana Al Habsy Tayu yang terkenal di wilayah Pati. Berangkat menuju kabupaten Jepara, tepatnya di desa Bate Alit yang berada disisi barat utara gunung Muria, untuk mengikuti salah satu rangkaian kegiatan seni budaya Arsotika Muria ke-3. 


Awalnya kami berencana untuk berkolaborasi dengan beberapa mahasiswa membawakan beberapa puisi yang di iringi dengan musik. Namun ternyata rencana berubah ketika teman-teman mahasiswa gagal berangkat karena harus mengikuti ujian semester di kampusnya, walhasil berangkatlah kami berdua, tentu saja kami tidak mungkin membatalkan untuk performance karena nama kami sudah tertulis di rundown acara. 


Nanti sore sekitar jam 15.00 WIB, adalah waktu yang disediakan panitia  untuk kita performance, jam 09.WIB mas Juna datang dan mengabarkan batalnya teman -teman mahasiswa yang sedianya mau berkolaborasi dengan saya. Sedikit memutar otak, apa yang harus saya tampilkan di sana nanti dihadapan seniman dan budayawan dari tiga kabupaten yaitu Pati, Kudus, Jepara dan kota -kota disekitar. Akhirnya insting saya mengarahkan untuk bermain kentrung saja, dan menceritakan cerita "MINAK DJINGGO NAGIH JANJI", sebuah cerita dari naskah ketoprak yang beberapa minggu yang lalu selesai di garap oleh mas Yoyok, waktu itu saya menjadi asisten beliau, sehingga saya cukup hafal alur ceritanya. Dengan tekad kuat saya meminjam Rebana besar dengan keyakinan saya akan mementaskan kesenian kentrung ala Lamongan. Meskipun saya mencoba untuk sedikit berinovasi menggunakan beberapa alat musik selain rebana, ada seriling, alat penghasil suara petir, beberapa bel kuningan kecil, kemudian setelah itu kami berdua berangkat ketempat acara Desa Bate Alit kabupaten Jepara. 


Perjalanan begitu terasa berat, jalan yang rusak juga medan yang ekstrem dengan tanjakan dan turunan, di samping itu beratnya alat musik terbang yang harus saya bawa ternyata cukup membuat perjalanan menjadi terasa berat. Pukul setengah dua siang kami sampai di tempat acara, penerimaan tuan rumah , seniman dan masyarakat begitu hanggat cukup mengendorkan syaraf-syaraf saya. Saling bersapa, bertukar cerita, dan saya hanya mendengarkan saja, mungkin bagi saya ini kali pertama saya bertemu dengan seniman-seniman gunung Muria, ditambah beban berat perjalanan yang baru saja kami jalani. Percakapan mengalir begitu asyik diselingi dengan canda tawa renyah, tapi sekali lagi saya hanya diam mendengarkan dengan seksama. 


Belum beristirahat dengan cukup, panitia acara sudah menghubungi saya untuk segera bersiap dan menuju lokasi pertunjukan, panggung utama di buat dengan  cukup artistik, menggunakan bambu dan di buat seperti branjang/bagan ikan di atas bendungan pengairan, terasa begitu alami dan eksotik serta artistik. Segera saya mempersiapkan diri untuk memulai pertunjukan kentrung, awalnya saya berencana maun sendiro, tapi pikiran saya berubah, mas Juna yang awalnya berencana mendokumentasikan penampilan saya di panggung, seketika saya todong beliau untuk bersama-sama dengan saya pentas kentrung. 


Terbang atau rebana di mainkan oleh mas Juna, saya memankan beberapa alat lain sambil menceritakan kisah Damarwulan dan Menak Jinggo. Pertunjukan kami lansungkan selama 30 menit lebih, tentu saja dengan beberapa kendalai yang ada, karena baru pertama ini saya pentas kentrung dan disaksikan oleh masyarakat. 


Setelah pertunjukan kami selesai, kami istirahat di tempat penginapan yang di sediakan panitia, setelah duduk santai dan minum jahe hangat, saya di tanya oleh beberapa seniman sepuh, "Habis pentas apa mas? ", saya dengan malu-malu menjawab, " Habis pentas kentrung lamongan mbah", ketika itu si mbah yang bertanya tadi kelihatan kaget dan gembira, tak di sangka, mbah yang bertanya tadi adalah mbah Suparmo atau yang biasa di panggil Mbah Parmo dengan cucunya mas Arif, maestro kentrung Jepara yang masih hidup. 


Obrolan jadi semakin gayeng, mbah Parmo banyak bercerita tentang kentrung Jepara, asal mula beliau menekuni kesenian kentrung, pakem- pakem apa saja yang ada dalam kesenian kentrung jepara, cerita- cerita yang beliau peroleh dari gurunya, kisah Ahmad Muhammad, Dewi Murtiah, Johar Manik, jalak emas, jimat panca warna, Johar Syah, dll. 


Di sela obrolannya mbah Parmo juga bertanya tentang kentrung Lamongan, beberapa penerapan sesaji dalam kesenian kentrung, juga perasaan senangnya ketika melihat ada anak-anak muda yang mau belajar kesenian kentrung, beliau memang begitu ramah dan sopan santun, senang membagi pengetahuannya tentang kentrung, belaiu terlihat begitu bijaksana patut dengan sebutan maestro kentrung. 

Beliau memberitahukan bawa nanti malam beliau dan cucunya akan perform di panggung utama, dan berkeinginan mengajak saya untuk pentas sekalian, namun demi menghormati beliau, saya berusaha menolak, biar malam nanti semua khusyuk dan bergembira menyaksikan pertunjukan kentrung mbah Parmo. Namun panitia mengajak saya dan mas Juna untuk ikut sebagai narasumber pembanding dalam sarasehan yang diadakan setelah pertunjukan kentrung  mbah Parmo. 


Singkat memang pertemuan saya dengan mbah Parmo, namun banyak informasi dan ketauladanan yang bisa saya serap dari beliau, salah satunya adalah kesabaran beliau dalam mengajari cucunya untuk bisa dan mau belajar Kentrung Jepara. 


Salam SemangArt.. 

*Deni Jazuli ( santri PP. Al Badriyah Tayu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...