By: Ifeginia Tribuana Tunggadewi
Ibu tidak memiliki banyak waktu untuk merapihkan kertas-kertas yang berserakan di meja, di lantai, atau di dalam laci meja yang tak terkunci. Sebab katanya jam kerjanya padat, ia harus membeli jasa orang untuk merapihkan hal-hal kecil seperti itu. Tapi Ibu masih selalu sempat untuk sekadar menuang air panas ke dalam gelas berisi bubuk kopi hitam untuk Ayah. Mengaduk dan membiarkan aroma-aroma itu bagai candu. Kemudian Ibu benar-benar kecanduan, kesibukkan, relasi, kenikmatan, dan kecanduan menjadikan aku pengamat paling bijak di rumah —walau menjadi berantakan sekalipun.
Aku tumbuh di tangan yang selalu hangat mengusap puncak kepala dengan kecupan selamat pagi dan sepotong roti untuk mengganjal perut. Aku tumbuh menjadi bocah yang setiap hari berfikir untuk menjadi seperti Ibu namun tidak berantakan. Maka setiap hari aku berangan-angan memiliki pekerjaan yang bagus dan gelar yang sesuai dengan keinginanku. Aku akan pergi kelana, berlari hingga kakiku berdarah-darah, keluar dari belantara menuju batas cakrawala. Kakiku mungkin akan bersih sesekali saat menyebrangi tujuh mata air tanpa jembatan. Kemudian berdarah lagi ketika menginjak ranting-ranting pohon dan tanaman-tanaman berduri.
Hingga sampai pada luasnya inginku.
Aku hanya pengamat dengan kemampuan untuk berimajinasi. Banyak membayangkan bagaimana jika aku seperti ini, seperti itu, tanpa mengerti apa yang harus aku lakukan.
Aku membuka buku bacaan yang sudah lama dalam genggamanku. Halaman berganti seiring dengan kepalaku yang mengeliminasi sisa-sisa memori yang kubuat di kepalaku sendiri. Aku mengeliminasi separuh perasaanku dan membiarkan larung ke dalam kubangan dosa yang digadang-gadang akan menjadi penghakiman atas riwayat hidupku.
Aku menyisihkan dan meletakkan banyak peristiwa pada selembar kertas yang kubiarkan berserakan.
Aku melipat paristiwa dalam jarak pandang yang kubiarkan berlarian kemana-mana.
Aku menghukum diriku dan membiarkan mantra-mantra meruah rebah di dasar ingatan, menjadi berantakan dan tak bernama. Yang seluruhnya hanya tampak semakin samar. Dan Ibu sibuk mengelabui diri bahwa ia tak tahu apa arti dari berantakan.
Mungkin aku percaya bahwa aku tak pernah ada, bukan pengamat, hanya segelintir debu yang kilap di hadapan mata.
Apa ada rasa malu mencela harga diri Ibu, kalau aku hanya tak pernah mengerti perihal dunia dan takdirnya?
Kenapa kita hidup dan tak pernah tau menahu tentang hari esok akan bagaimana? Kenapa wujud berubah menjadi gumpalan dendam yang ingin kulahap sesegera mungkin sebelum menjadi gumpalan lain yang lebih besar?
Apa yang salah Bu,
aku kelana di belantara yang tak pernah benar-benar ada. Lalu kemana aku setelah ini?
By. Ifeginia Tribuana Tunggadewi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar