Senin, 01 November 2021

MASJID TIBAN, POHON BERINGIN DAN PENUNGGANG KUDA .

 


Syahdan di ceritakan secara lisan, tentang muasal masjid tiban ( masjid Weru), dan pohon Beringin tua yang tumbuh di depan masjid serta sosok penunggang kuda ghaib yang sering kali  dilihat oleh beberapa mayarakat, ternyata memiliki hubungan yang kuat. 


Menurut cerita cangkeman dari beberapa masyarakat yang usianya sudah tua, orang Weru punya idiom bahasa tersendiri yang melambangkan maksud dengan usia tua dengan kata-kata, "Menangi Jaman Nalikane udan awu lan lindu gede", istilah ini merujuk pada terjadinya letusan gunung  Kelud dan gunung Batur di pulau Bali, yang menunjukkan bahwa orang tersebut berusia sudah sepuh. Menurut penuturan mereka, bahwa masyarakat desa Weru dahulunya masih bercampur dengan praktek ritual terhadap kepercayaan akan roh-roh leluhur yang bersemayam di pohon-pohon besar dan tua, mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur yang mendiami pohon Beringin besar di pinggir pantai desa Weru bisa menjadi perantara kepada tuhan pencipta alam semesta dengan mereka, terkait dengan hajat kebutuhan hidup mereka, sehingga dengan keyakinan tersebut banyak masyarakat desa Weru yang memberikan sesaji di bawah pohon beringin tersebut, ada juga yang menaruh jaring di cabang-cabang pohon, mengikat batu dengan kain, kemudian di ikat di cabang pohon. 


Keyakinan dan tradisi ini berlangsung sangat lama, bisa jadi sejak awal mula daerah ini di huni orang, maka ketika agama Islam mulai menyebar secara merata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa dan banyak penyiar agama yang masuk ke wilayah desa Weru Kompleks mulai terjadi pergeseran budaya dan tradisi serta keyakinan penduduk desa Weru. 


Sebelum lebih jauh, ada hal menarik juga yang perlu diketahui, desa Weru juga sering di sebut dengan desa Weru Kompleks yang memuat beberapa desa, ada desa Weru, Sidokumpul (Parangrejo), Waru Lor, Campurejo (Camplung), Paloh, dusun Karangtumpuk, dan Banyutengah. Sejak zaman kolonial, gabungan desa-desa ini disebut dengan Weru Kompleks. 


Kembali ke topik awal, setelah kedatangan penyebar-penyebar agama Islam di Weru kompleks, lambat laun tradisi memberikan sesaji dan meletakkan jaring dan peralatan lain di pohon Beringin dekat pantai berangsur-angsur mulai hilang, dulu sekitar tahun 80 an, pondasi tembok pojok timur laut masih kelihatan struktur bangunannya, mungkin saja dulunya pohon Beringin itu di pagari dengan pagar bata di sekelilingnya. 


Syahdan dituturkan juga oleh tokoh-tokoh tua desa Weru, bahwa agar menjaga keyakinan masyarakat yang sudah mulai sesuai dengan ajaran Islam, para penyiar agama Islam dan sesepuh desa berkeinginan membangun masjid di sebelah barat pohon Beringin, pendirian masjid di sebelah pohon Beringin bertujuan agar masyarakat tidak lagi melakukan kegiatan ritual di pohon tersebut. 


Lewat cerita tutur, dikisahkan bahwa untuk membangun masjid yang cukup besar diperlukan bahan bangunan, khususnya kayu yang cukup banyak, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan kayu-kayu tersebut karena lokasi desa Weru yang kemungkinan saat itu di kelilingi rawa, dan jarang ditumbuhi pohon-pohon besar sebagai bahan bangunan mendirikan masjid. Keajaiban mulai muncul ketika di pagi hari  warga desa yang melihat di pinggir pantai ada tumpukan kayu yang terbawa ombak dan terdampar di pinggir pantai. Masyarakat desa Weru merasa gembira dan atas kesepakan dengan beberapa sesepuh desa dan mubaligh kayu tersebut digunakan untuk membangun masjid, kejadian ini berlangsung hingga selesainya pembangunan masjid, kemudian masyarakat menyebutnya dengan masjid tiban, yang bermakna masjid yang bahan bangunan kayunya datang sendiri, di pinggir pantai. 


Tidak diketahui secara pasti nama mubaligh yang pertama kali berdakwah di desa Weru, hanya saja ke aliman mubaligh tersebut cukup tersohor, sehingga yang mengikuti dakwahnya tidak hanya dari bangsa manusia, tetapi juga dari bangsa jin. 


Syahdan dituturkan lewat tutur lisan yang berkembang di kalangan masyarakat desa Weru, bahwa masjid tiban tersebut di jaga oleh sosok mahluk ghaib yang sering menampakkan diri dengan mengendarai kuda, sosok tersebut oleh masyarakat desa weru di kenal dengan nama "Mbah Juberngo/Juberno". Sosok mahluk tersebut menurut penuturan dari beberapa orang yang pernah melihatnya  adalah sosok yang berwibawa, berpakaian putih dan menunggang kuda. 


Keberadaan tokoh ghaib yang menjaga masjid tiban di desa Weru sering di ketahui oleh masyarakat desa Weru, kadang kala suara tapak kudanya juga di dengar oleh beberapa masyarakat yang berumah di sekitar madjid desa Weru, biasanya sebelum atau sesudah adzan awal sekitar pukul tiga pagi. Ada yang berpendapat tokoh ini adalah murid dari mubaligh yang menyebarkan agama Islam di desa Weru kompleks yang diperintahkan untuk menjaga  masjid dan desa Weru, sementara mubaligh melanjutkan perjalanannya menyebarkan agama Islam. 


Salah satu keunikan lain dari masjid tiban desa Weru ini adalah sumurnya yang airnya tawar meskipun letak sumurnya sangat dekat dengan bibir pantai dan jarang habis airnya, sampai sekarang rasa air sumur tersebut masih tawar dan jarang kering sumbernya meski musim kemarau. 


Wallahua'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...