Awal perjumpaan saya dengan cak Nurel di medio pertengahan tahun 2019, saat itu cak Nurel menjadi narasumber acara workshop penulisan puisi dalam rangkaian acara Road Show Puisi menolak Korupsi yang di helat di kompleks Pesantren Watu Bodo Ujungpangkah, ketepatan waktu itu saya sebagai salah satu panitia lokal pelaksana acara tersebut, moment pertama ketemunya terbilang lucu, sebab di saat acara workshop akan dimulai dan saya dag dig dug menunggu pematerinya, saat itu saya belum tahu sosok cak Nurel, di tengah kebingungan saya yang mengira cak Nurel belum juga datang dan acara sudah hampir di mulai, saya di kasih tahu sama Lutfi .S.Mendut, bahwa cak Nurel Sudah datang dari tadi, sontak saya bertanya, “lah,mana orangnya ?’. Lutfi menjawab, “itu,yang jualan buku!”, astaqfirullah.... muka saya merah karena malu, sebab dari tadi saya sudah milih-milih buku, namun tidak tahu kalo yang ngelapak buku itu cak Nurel, dengan tersipu saya meminta maaf kepada beliau.
Saya mengenal nama beliau jauh sebelum bertemu secara langsung, banyak cerita tentang beliau yang saya dengar saat di Jogja, beberapa cerita juga saya ketahui dari mas Johan, jadilah semacam legenda dalam benak saya sosok Nurel Javissyarqi,
Di kemudian hari saya banyak berinteraksi dengan beliau, di samping karena beberapa evant sastra yang di adakan di Rumah Budaya Pantura dan Sanggar Pasir, saya juga menjalin kerjasama dalam hal lain, seperti saya menjadi salah satu konsumen buku di toko buku beliau, karena saya juga membuat tokoh buku di kota Tayu yang banyak buku-bukunya mengambil dari toko buku beliau. Begitu juga untuk pengadaan buku-buku perpustakaan Sanggar Pasir, banyak di suplay dari beliau, tentunya banyak pula shodaqoh buku untuk sanggar Pasir dari beliau.
Pada suatu ketika,takkalah menghadiri acara sastra di Larung sastra Rumah Budaya Pantura, saya terlibat perbincangan yang menarik dengan beliau beserta beberapa kawan lainnya, waktu itu beliau bercerita tentang perjalanan bedah buku terbarunya MMKI di UI Jakarta dan Pusat Dokumentasi HB.Jassin Jakarta, bagaimana beliau menceritakan proses perjalanan beliau ke Jakarta yang beliau istilahkan dengan “ mlebu kandang macan”, sebelum berangkat ke Jakarta beliau berziarah dulu ke makam gurunya dan swa foto di nisan gurunya dengan membawa buku MMKI, kemudian beliau berangkat ke Jakarta sendirian tidak mengajak seorangpun untuk menemani perjalanan beliau, alasan yang beliau kemukakan adalah “ nek niat wani,ngijeni yo kudu tatak,kudu wani,ora usah ngajak batur,ngluruk tanpo bolo”, ujar beliau sambil tertawa. Sampai saat itu,saya belum memahami apa maksud dan hubungannya dengan bedah buku beliau, saya hanya menyimpan ucapan beliau dalam memori lemot otak saya, kemudian beliau melanjutkan ceritanya, hingga ketika sampai di jakarta, di tempat akan di gelarnya bedah buku, yang kemungkinan sekaligus menjadi ajang “pengadilan karya” beliau, cak Nurel masuk kedalam aula sebelum acara di mulai, sambil menaburkan beberapa pasir dan kerikil di sekitaran aula yang saat itu di ketahui oleh beberapa panitia acara, ketika acara beliau hanya memakai setelan celana jeans dan kaos berkerah, tidak memakai setelan celana dan jas yang formal ataupum sarung dan baju putih seta peci. Sebelum saya bertanya kenapa menabur pasir dan kerikil, cak Nurel dengan tertawa berujar “mumpung durung di serang, tak gedak disek dengan menabur pasir dan kerikil “, Saya juga sampai di situ belum mengerti apa maksudnya.
Obrolan terus berlanjut, kami masih setia mendengarkan omongan beliau, sebab memang cak Nurel begitu punya daya pikat yang luar biasa dalam menceritakan kisah atau menjelaskan sesuatu, gaya petarung yang langsung serang, namun kadang juga mengulur ulur sampai lawan kehabisan nafas. Beliau menjelaskan tentang strategi dia dalam menamgkis dan menyerang lawan debatnya ketika membahas persoalan yang ada dalam buku MMKI, baginya menyerang adalah pertahanan yang paling utama, “ngesruh” dalam bahasa beliau, urusan kalah atau menang itu nanti,yang penting serang dan ngesruh dulu, strategi berdebat semacam ini beliau rasa sangat efektif untuk menekuk lawannya, sampai saat ini jujur saja saya masih belum paham pola pergerakan dan pikiran beliau...kikikikikik, saya juga belum pernah bisa mengkhatamkan dan memahami buku karya beliau KITAB PARA MALAIKAT dan MMKI .
Satu hal yang berkesan bagi saya adalah ucapan beliau,”Ati-ati karo wong nganggur”, bah...apa pula ini...!, saya semakin tidak paham dengan ucapan beliau, namun beliau menjelaskan,bahwa beliau punya kelebihan yang kadang tidak dimiliki orang lain, kelebihan itu adalah bahwa beliau orang nganggur, artinya pengangguran yang punya banyak waktu untu menulis, baik menulis sanggahan-sanggahan pada pengkritis ide beliau atau lawan diskusi kritik sastra beliau, tulisan untuk mengkritisi dan mblenjeti karya orang, waktu yang banyak untuk menuliskan karya-karya beliau. Beliau menegaskan bahwa pengangguran itu berpotensi untuk nelikuri sebuah persoalan dengan sangat detail dan tajam, dan dia sangat mensyukuri status pengangguran beliau dengan cara produktif dalam menulis dan menghadiri beberapa diskusi sastra, dalam bahasa beliau “bergerilya” dalam perjuangan menyampaikan ide gagasan beliau sampai ketempat terpencil sekalipun.
Kenyataan yang disampaikan beliau memang demikian adanya, banyak waktu yang bisa beliau gunakan untuk merevisi berkali-kali karya beliau, sebagai contoh beliau merevisi buku KITAB PARA MALAIKAT sampai bertahun-tahun,dari beratus-ratus halaman hingga tersisa beberapa halaman ketika di cetak. Beliau juga dengan senang hati mengkurasi dan merevisi beberapa karya teman-teman lain. Menulis di website beliau, mengunggah dan mendokumentasikan karya sastra dan kritik sastra di website beliau. Sungguh sebuah kenyataan yang benar dari apa yang beliau ucapkan, “ati-ati karo wong nganggur”.
Beberapa bulan yang lalu sebelum beliau wafat, saya sempat bertemu dengan beliau di acara pentas kentrung di Rumah Budaya Pantura, saat itu beliau berkata, “ndelok Sarkadek main kenterung mau, aku ora khawatir Lamongan akan kehabisan seniman kentrung”. Beberapa hari kemudian setelah acara pentas kentrung, saya bertemu lagi dengan beliau di acara Festival Puisi Mutakhir, sambil saya temani ngelapak buku di emperan madrasah beliau berkata kepada saya, “Den,awakmu pancen tukang ngumpulno wong,aku wae ora isoh koyok awakmu ngumpulno wong sakmeneh akehe, biyen pas awakmu tak ter nikah,aku mbatin,lamongan iki sepi maneh bakale,tibake awakmu tetep gelem berkesenian lan ngerakno pantura Lamongan Gresik,aku yo lego lan ora khawatir maneh”, mendengar ucapan beliau hati saya agak ngilu rasanya,entah kenapa ?, saat itu saya hanya bisa menimpali ucapan beliau, “The Power Of Wong Nganggur cak..!”.
Pertemuan terakhir di Sanggar pasir,saat Dies Natalis Sanggar Pasir, beliau di dampingi istri dan satu teman, beliau bercerita tentang sakitnya dan kejanggalan kejanggalan sakitnya, sebagai kawan, saya pun menawarkan untuk mengajak ke guru spiritual saya, beliau berterimakasih meskipun belum menyanggupi. Saya melihat beliau begitu tabah, namun tidak sampai berfikir bahwa sakit itu akan mengantarkannya menemui kekasih sejatinya. Saya ingat buku yang beliau baca saat itu, yang sempat mau saya beli..kikikikiki, tetapi tidak boleh, buku Terjemahan Sirrur Asror karya syech Abdul Qodir Jailani.
Terimakasih.....sungguh terimakasih cak Nurel.
PP.Al Badriyah Tayu, 11 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar