Minggu, 04 Agustus 2024

KHOTBAH

 



KHOTBAH

Karya: WS Rendra

FANTASTIS.

Di satu Minggu siang yang panas

di gereja yang penuh orangnya

seorang padri muda berdiri di mimbar.

Wajahnya molek dan suci

matanya manis seperti mata kelinci

dan ia mengangkat kedua tangannya

yang bersih halus bagai lili

lalu berkata:

“Sekarang kita bubaran.

Hari ini khotbah tak ada.”


Orang-orang tidak beranjak.

Mereka tetap duduk rapat berdesak.

Ada juga banyak yang berdiri.

Mereka kaku. Tak mau bergerak

Mata mereka menatap bertanya-tanya.

Mulut mereka menganga

berhenti berdoa

tapi ingin benar mendengar.

Kemudian dengan serentak mereka mengesah

dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka

tersebarlah bau keras

yang perlu dicegah dengan segera.


“Lihatlah aku masih muda.

Biarlah aku menjaga sukmaku.

Silakan bubar.

Izinkan aku memuliakan kesucian.

Aku akan kembali ke biara

merenungkan keindahan Ilahi.”


Orang-orang kembali mengesah.

Tidak beranjak.

Wajah mereka tampak sengsara.

Mata mereka menganga

sangat butuh mendengar.


“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.

Tuhanku, kenapa di saat ini kau tinggalkan daku.

Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar

mereka mengangakan mulut mereka.

Udara panas. Dan aku terkencing di celana.

Bapa. Bapa. Kenapa kau tinggalkan daku.”


Orang-orang tetap tidak beranjak.

Wajah mereka basah.

Rambut mereka basah.

Seluruh tubuh mereka basah.

Keringat berkucuran di lantai

kerna udara yang panas

dan kesengsaraan mereka yang tegang.

Baunya busuk luar biasa.

Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk

juga.

“Saudara-saudaraku, para anak Bapa di surga.

Inilah khotbahku.

Yalah khotbahku yang pertama.

Hidup memang berat.

Gelap dan berat.

Kesengsaraan banyak jumlahnya.

Maka dalam hal ini

kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.

Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.

Tengoklah kebijaksanaan kadal

makhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya.

Meniaraplah ke bumi.

Kerna, lihatlah:

Sukmamu terjepit di antara batu-batu.

Hijau.

Lumutan.

Sebagai kadal ra-ra-ra.

Sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”


Orang-orang serentak bersuara:

Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.

Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja.

Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.


“Kepada kaum lelaki yang suka senapan

yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya

aku minta dicamkan

bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.

Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi

agar tak kau lihat siapa yang kau pijak.

Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.

Bersihkan darah dari tanganmu

agar aku tak gemetar

lalu kita bisa duduk minum teh

sambil ngomong tentang derita masyarakat

atau hakikat hidup dan mati.

Hidup penuh sengsara dan dosa.

Hidup adalah tipu muslihat.

La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.

Jadi marilah kita tembak matahari.

Kita bidik setepat-tepatnya.”


Dengan gembira orang-orang menyambut bersama:

La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.

Mereka berdiri. Mengentakkan kaki ke lantai.

Berderap serentak dan seirama.

Suara mereka bersatu:

La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.

Hanyut dalah persatuan yang kuat

mereka berteriak bersama

persis dan seirama:

La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.


“Maka kini kita telah hidup kembali.

Darah terasa mengalir dengan derasnya.

Di kepala. Di lehar. Di dada.

Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.

Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.

Darah itu bong-bong-bong.

Darah hidup bang-bing-bong.

Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.

Hidup harus beramai-ramai.

Darah bergaul dengan darah.

Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”


Orang-orang meledakkan gairah hidupnya.

Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja.

Berderap-derap dengan kaki mereka.

Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,

semua dipalu dan dibunyikan.

Dalam satu irama.

Diiringi sorak gembira:

Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.


“Cinta harus kita muliakan.

Cinta di belukar.

Cinta di toko Arab.

Cinta di belakang halaman gereja.

Cinta itu persatuan dan tra-la-la.

Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.

Sebagai rumputan

kita harus berkembang biak

dalam persatuan dan cinta.

Marilah kita melumatkan diri.

Marilah kita bernaung di bawah rumputan.

Sebagaimana pedoman kita:

Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.”

Seluruh isi gereja gemuruh.

Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.

Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.

Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.

Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan

tubuhnya.

Dan dengan suara menggigil yang ganjil

mereka melengking dengan serempak:

Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.


“Melewati Nabi Musa yang keramat

Tuhan telah berkata:

Jangan engkau mencuri.

Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.

Para pembesar jangan mencuri bensin.

Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.

Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya.

Artinya: Cha-cha-cha, cha-cha-cha.

Semua barang dari Tuhan.

Harus dibagi bersama.

Semua milik semua.

Semua untuk semua.

Kita harus bersatu. Kita untuk kita.

Cha-cha-cha, cha-cha-cha.

Inilah pedomannya.”


Sebagai binatang orang-orang bersorak:

Grrr-grrr-hura. Hura.

Cha-cha-cha, cha-cha-cha.

Mereka copoti daun-daun jendela.

Mereka ambil semua isi gereja.

Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani.

Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan

permata.

Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka.

Cha-cha-cha, berulang-ulang diserukan.

Seluruh gereja rontok.

Cha-cha-cha.

Binatang-binatang yang basah berkeringat dan deras

napasnya

berlarian kian kemari.

Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.

Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua:

“Aku lapar. Lapaar. Lapaar.”

Tiba-tiba semua juga merasa lapar.

Mata mereka menyala.

Dan mereka tetap bersuara cha-cha-cha.


“Sebab sudah mulai lapar

marilah kita bubaran.

Ayo, bubar. Semua berhenti.”


Cha-cha-cha, kata mereka,

dan mata mereka menyala.


“Kita bubar.

Upacara dan khotbah telah selesai.”


Cha-cha-cha, kata mereka.

Mereka tidak berhenti.

Mereka mendesak maju.

Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.


“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.

Kita semua putra-putranya yang mulia.

Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”


Cha-cha-cha.

Mereka maju menggasak mimbar.

Cha-cha-cha.

Mereka seret padri itu dari mimbar.

Cha-cha-cha.

Mereka robek-robek jubahnya.

Cha-cha-cha.

Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.

Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.

Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.

Cha-cha-cha.

Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.

Cha-cha-cha.

Lalu tubuhnya dicincang.

Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.

Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.

Mereka minum darahnya.

Mereka isap sumsum tulangnya.

Sempurna habis ia dimakan.

Tak ada lagi yang sisa.

Fantastis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...