Senin, 01 November 2021

KARANGAN

 

Waktu 6 jam perjalanan darat dari tempat tinggal ku sekarang, menuju desa kelahiran ku, cukup melelahkan juga, dari tempat ngetem bus jurusan Tayu- Sarang, tepatnya di pertigaan kidul kali, arah Tayu-Juwana, Tayu-Pati, aku naik bus umum jurusan Tayu-Sarang, bus mini yang rata-rata kondisinya sudah kurang terawat, memang wajar, jaman sekarang memang orang lebih memilih naik sepeda motor daripada harus naik kendaraan umum. Bus belum juga berangkat, sekitar 30 menit baru mulai berjalan, hanya ada beberapa penumpang yang naik bus ini, perjalanan sangat lambat, bus ini sudsh tua, jalannya sudah mulai gontai, suara krieet.. Krieet banyak terdengar dibeberapa bagian bus. Bus berjalan merambat, seperti orang tua yang berjalan terseret-seret, melintasi jalanan dengan pemandangan sawah dan gunung Muria di kejauhan, meski perlahan laju bus ini, tapi cukup nikmat juga untuk memperhatikan pemandangan di kiri-kanan jalan. 


Aku berhenti di pertigaan alun-alun kota Juwana, kota pelabuhan yang pernah berjaya dimasanya, beberapa kelenteng masih kokoh berdiri, kapal Jung khas Juwana terlihat banyak bersandar di sungai, jelas masih terlihat sisa kebesaran bandar Juwana. Kota Juwana terbilang kota yang lumayan ramai di pesisir utara pulau Jawa, bandar pelabuhan dan pasarnya terbesar di wilayah Pati dan sekitarnya, denyut kehidupan masyarakat dan perekonomian jelas kelihatan di kota ini. 


Aku menunggu bus dari arah Semarang menuju Surabaya, melalui beberapa kota tua yang melegenda di sepanjang pesisir utara jawa, dari kota Juwana, Rembang, Lasem, Sarang, Tuban, kota-kota ini dulu adalah kota besar dimasa nya, penghasil armada kapal dagang dan kapal perang dimasa kerajaan Majapahit dan Demak, kapal-kapal yang dibuat, terkenal sangat kuat untuk mengarungi lautan, membawa hasil rempah dan barang dagangan menuju pulau-pulau di nusantara hingga mancanegara. Kapal Jung dari kota-kota ini pernah juga di gunakan Adipati Unus untuk menghadang Portugis di selat Malaka. 


Perjalanan melewati jalan yang berpemandangan perbukitan Kendeng dan pantai laut Jawa, dari kaca jendela, angan ku melayang jauh ke masa-masa kecil dulu, di desa kelahiran ku, desa Weru, sebuah desa nelayan dengan pasir putihnya yang benar-benar putih, dan bila laut surut beberapa ratus meter  dari bibir pantai, saat itulah laut di desaku memberikan keindahan lainnya, dengan hamparan terumbu karang yang indah. 

Masa kecil begitu indah, dimana semua masih sangat sederhana, listrik yang belum masuk ke desa, hanya ada listrik lokal yang kalau mau menyalakan dieselnya harus ditarik engkolnya dengan tali panjang yang ditarik dengan banyak orang beramai-ramai di sore hari. Kalau sudah jam 12 malam listrik akan padam, beberapa rumah masih menggunakan lampu pijar petromaks yang kalau mau menyalakan harud dipompa dulu, dan menggunakan bahan bakar minyak tanah. 


Hal yang paling aku sukai ketika masa kecil dulu, adalah saat air laut surut di sore hari, air laut akan menjauh sekitar beberapa ratus meter dari garis pantai, kami biasa menyebutnya dengan istilah "Karangan", sebab terumbu karang akan terlihat, ikan, ketam, kepiting, rajungan akan banyak bersembunyi diantara terumbu karang, aku dan kakak perempuanku serta teman-teman akan mencari ikan, kerang, ketam, kepiting, rajungan untuk kami rebus dan nikmati di pantai pasir putih. Biasanya kami membawa panci dari rumah, seringkali emak marah-marah karena mau masak nasi tetapi panci buat masak kami pakai buat merebus kerang dan kepiting di pantai, sambil merebus hasil buruan biasanya kami bermain bola, atau bermain ceplokan, permainan ceplokan memang unik dan mungkin hanya dimainkan di pantai desa Weru, ceplokan adalah permainan pasir, semacam meriam dari pasir, yang dimainkan dengan cara membuat gundukan tanah dengan lubang yang agak miring di tanah pasir, kemudian membuat lubang kecil di atas gundukan tanah tersebut sebagai jalan keluar udara, lalu menutup lobang kecil tadi dengan "umpal sandal" yang di buat berbentuk lingkaran dengan ketebalan 2 cm, kemudian membuat gundukan tanah yang berbentuk setengah bola, lalu gundukan tanah tersebut di angkat dan didapatlah di bagian atas berbentuk lempengan tanah setengah bola dan di tumbukkan di gundukan tanah berlubang, jadilah seperti meriam udara dan melesatkan bulatan umpal sandal, melesat ke depan atau ke atas, dan biasanya kami berlomba, siapa yang paling jauh arah lesatan pelurunya. 


Waktu Karangan akan berlangsung kurang lebih satu minggu, itulah waktu yang paling menyenangkan bagi kami anak pantai, saking asyiknya kami bermain, kadang sampai lupa waktu, hingga tak jarang emak mencari kami sambil membawa sapu lidi, berbarengan dengan suara adzan dari masjid desa kami yang letaknya tepat di bibir pantai, telinga kami dijewer emak sambil memarahi kami, karena habis sholat magrib kami harus mengaji di tempat pak Shomad, guru ngaji kami sekaligus kepala sekolah dasar di desa kami. 


Bus berhenti mendadak, membuyarkan lamunanku. Lamunan tentang masa kecilku yang begitu indah. Bus berhenti di alun-alun kota Tuban, aku harus turun dan pindah kendaran colt L 300, kendaraan ini yang sepertinya masih bertahan dari era masa 80 an hingga saat ini, dengan trayek Tuban-Brondong-Weru. Semua telah berubah namun ada beberapa hal yang masih tidak berubah, salah satunya adalah rasa cintaku pada tanah kelahiran ku, desa Weru, dengan pantainya, emak dan bapak serta handai taulan ku. 


1 komentar:

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...