Selasa, 10 Agustus 2021

PEREMPUAN-PEREMPUAN KISIK

 


Babak 1

Panggung blackout.

Di panggung ada 4 kotak seperti bilik. 

Bilik pertama mmenyala, tapi seluruh panggung tetap blackout.

#. Adegan 1 (dialog Jumiatun)

Namaku Jum… Jumiatun, Perempuan tak beranak, lahir di perkampungan nelayan yang kumuh, pendidikan sekolah dasar kelas tiga, kemudian membantu si mbok membuat ikan pindang dan ikan asap, yang terasa sedap ketika disajikan di meja-meja makan tuan-tuan dan nyonya-nyonya terhormat. 

Setiap hari hanya bau amis ikan dan sesak asap pengasapan… bukan wangi parfum yang kerap tercium di mall-mall saat nona-nona asyik berbelanja barang mewah.

Namaku Jumiatun, mandul tak beranak satupun dari suami yang kerap kali memperkosaku… Ya… Karsan nama suamiku, nelayan, anak buah kapal penagkap ikan yang merantau diperairan Sumatra, pulang ketika bulan mulai penuh, dan saat itu praktek pemerkosaan mulai berlangsung padaku, tak  perduli apa aku sedang menstruasi atau sedang lelah akibat kerja, tak perduli apakah aku sedang menginginkannya atau enggan, kang karsan tak memperdulikan itu, dia memangsaku seperti singa lapar, tangannyapun tidak mau diam, aku sering dijambak, dicakar, bahkan tubuhku sering memar-memar, seluruh persendianku serasa copot setelah kang karsan menyetubuhiku. 

Perilakunya kasar, sikapnya brangasan, ini dilakukan setelah anak yang dikadang-kadangnya keguguran, setelah itu aku divonis dukun bayi sebagai perempuan bobrok, tak bisa mepunyai anak.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya tahu, sejak saat itu tubuhku hanya menjadi barang pemuas nafsunya. Seringkali kang Karsan sambal mabuk arak menyeret tubuhku dari lantai kemudian memperkosaku diranjang bambu… Hingga aku pingsan.

Saklar lampu dimatikan

Kotak dang pannggung blackout.  

# Adegan 2

Kotak kedua menyala

Adegan kedua (dialog larasati)


Aku… Larasati, Janda manis penunggu warung kopi, janda tak beranak adalah sebuah kesempaan bagiku, dengan wajah polos, dan pendidikan yang hanya tamatan Sekolah menengah pertama, gampang bagiku untuk menaklukkan hati pelanggan kopi di warkop tempatku bekerja, kalihan tahu berapa kira-kira bayaran untuk janda penyeduh kopi?,,, Ha.. Ha.. Ha.. Taka da bayaran, artinya taka da gajian, yang ada adalah fasilitas tempat tidur dari bale bamboo dengan Kasur dan bantal ampek, selimut kasar yang lusuh, tapi lumayan untuk menahan dingin angina malam yang masuk lewat celah-celah gedek bamboo yang mulai lapuk.

Ada juga fasilitas makanan seadanya, ya… seadanya… kadang ada ya kadang tidak ada.. Kata si mbok pemilik warung, tuugasku sederhana, aku hanya menemani tamu yang ngopi sambil mengobrol, biarkan mereka mengobrol sambil menghabiskan kacang goreng, jeruk, salak, kerupuk atau tambah kopi… Hanya itu. Sesekali mungkin ada pelanggan yang jahil, yaa… Jahil, kadang ada yang tangannya kreatif, hingga nyasar di pangkuanku, atau leherku… Ha.. Ha.. Ha.. Bagiku itu bukan kejahilan, mereka seperti anak kecil yang ingin mendapatkan mainan… Kadang mereka merayu, merengek… Seperti anak kecil, disaat seperti itulah… Aku bersikap seperti guru TK, memarahi sambil tersenyum manis… Ha.. Ha.. Ha.. Lihatlah kelakuan laki-laki itu, yang katanya superiror, berkuasa, tapi tak ubahnya seperti anak kecil merengek meminta mainan.

Sejak diceraikan suamiku, aku bekerja dari warung kopi kewarung kopi lainnya sepanjang jalan pantura ini, hingga terbesit cita-cita untuk membuat warung kopi sendiri, menjadikan warung kopiku sebagai mesin pencetak uang, menggunakan keahlian dan kepolosanku untuk mengarong kantong laki-laki, beberapa lelaki merayu dan menggodaku, berjanji untuk menikahiku, Ha.. ha.. ha.. Aku suda ribuan kali mendengar lagu itu.. Sudah hafal kelakuan mereka, selama aku bisa memegang kendali atas mereka, selama itu pula mereka mereka menjadi budak-budakku.

Jangan kira mereka kan mudah mendapatkan tubuhku, aku sadar betul, modal kerjaku hanya tubuh ini, seyogyanya aku menjaganya mati-matian, biarkan mereka penasaran, tapi jangan harap untuk bisa menikmatinya, aku sendiri yang berhak menentukan siapa yang boleh menikmatinya, bukan pertimbangan uang… Tapi karena benar-benar aku menginnginkannya…

Saklar lampu kotak dimatikan.

Kotak dan panggung blackout.

Kotak ketiga menyala.

# Adegan 3

Jubaidah bin Kasman, bapakku tercinta memberi nama itu padaku, aku ibu rumah tangga berusia 21 tahun, memiliki anak tiga, yang paling besar TK kelas B, yang paling kecil baru berusia 3 bulan. Wajahku ayu sesampai.. saat kelas 2 Tsanawiyah bapakku sudah menjodohkanku denagn anak sahabatnya Haji Maman. Aku sebenarnya menolak untuk dijodohkan apalagi dikawinkan, pikiranku saat itu hanya iingin terus bersekolah, melanjutkan ketingkat Aliyah kemudian kuliah ke kota. Mencari ilmu seperti halnya beberapa teman laki-lakiku, yang melanjutkan sekolah, kemudian kuliah dan bekerja jadi pegawai negri. Aku sangat menolak untuk dikawinkan, tapi ancaman dari bapakku tercinta untuk mengusirku dari rumah, dan tangisan pilu ibuku yang takut aku diusir bapakku, menjadikanku pasrah dengan nasibku…

Aku sudah melihat bagaimana ibuku, yang menikah diusia muda, bahkan lebih muda dari usiahku ketika menikah, hidupnya hanya berkutata sekitar dapur, sumur dan kasur.. aku suda merasakan bagaimana merawat adik-adikku saat aku masih duduk dibangku ibtida’iyah. Kini kutukan itu hampir juga kepadaku. Anak pertamaku lahir, disusul anak kedua lahir dan kini anak ketiga lahir. Aku harus nuntun sambil ngendong dan ngembol... hilang sudah impian inndahku untuk bersekolah, kuliah, melihat luasnya dunia…  

Nasib menjadikanku  hidupku berputar-putar antara dapur, sumur dan kasur. Masa beliaku terenggut paksa, mawar yang masih kuncup telah dipetik, an cintaku… Ya… cinta pertamaku, saat aku mulai merasakan kehanngatannya, kelembutannya… Harus rela berganti ratap.. cinta pertamaku, terpatut pada tatapan lembut mata lelaki itu… Kang Karsan.

Saklar lampu kotak 3 dimatikan.

Kotak dan panggung blackout.

Saklar lampu kotak ke-4 dinyalakan. 

# Adegan 4

Jamilah namaku, Perawan tua berusia 40 tahun. Pekerjaanku guru ngaji, sendari kecil oleh orang tuaku, aku dipondokkan dipesantren. Sepanjang masa remajaku aku jauh dari hingar binger kehidupan diluar pondok pesantren. Mengaji dan belajar ilmu agama, jarang bertemu dengan laki-laki, selain kang-kang santri ndalem. Pesantren seperti penjara suci bagiku, pergaulan dengan lawan jenis mungkin sesuatu yang dianggap tabu.

Bertahun-tahu aku asyik dengan uniaku saat itu, hingga ketika aku keluar dari pesantren, aku baru sadar bahwa usiaku telah beranjak tua, ada perasaan minder ketika harus bergaul dengan lawan jenis, bukannya aku tidak mau berumah tangga, aku sangat memimpikan seorang lelaki yang menikahiku, menjadi imamku. 

Beberapa kali ada lelaki yang mencoba berta’aruf  denganku, tapi selalu gagal pada akhirnya, alasannya karena sungkan dengan abahku, yang seorang toko agama, atau merasa minder denganku yang katanya ilmu agamaku diatasnya.. Waktu terus berjalan hingga usiahku berkepala empat, dan aku semakin menutup diri… 

Aku Jamila perawan tua seorang guru ngaji


# Keterangan Seting dalam Kotak

Kotak 1 : Meja dan tumpukan ikan yang akan di fillet dan dipindang.

Kotak 2 : Meja warkop dan bangku, serta botol sprite, fanta, jamu kuat, serta camilan.

Kotak 3 : Jemuran baju bayi dan ayunan bayi.

Babak 2

Semua lampu kotak menyala.

Lampu panggung menyala.

Aktor dalam kotak mulai beraktifitas.

Muncul rombongan orang-orang dari berbagi profesi ( nelayan, kuli pelabuhan, preman pasar, dll ) dengan gerakan teatrikal.

Muncul tukan woro-woro, mengumumkan acara petik laut.

Membuka Raga Padmi, 1: I –XCIII

Ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?, 

manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?, 

disaat sejarah beelum tercatat, siapa berbicara kata?,

wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya, 

siapa yang dahulu menepati lautan es cahaya? (I: I).

Wanita ditakdirkan melahirkan anak-anaknya, 

menyusui anak laki-laki dan perempuan ( I: II).

Ia membuka gerbang langit, ketika kisab waktu belum dipelajari (I: III)

Dia insan tertinggi di muka bumi, 

karena kabut singkup mega lenyap wajah langit biru (I: IV).

Doa ibu mencipta senyum menafaskan angkasa 

bagaikan gelombang ke pantai berulang-ulang (I: V).

Perawan cantic sejagat keturunan Hawa, kepadanya cahaya memancar

Dan setiap lelaki yang dicintai niscaya kemakotaannya raja (I: VI).

Menjadikan awan kerudung baginya, 

Lalu kegundahan menderas bagi menertawai (I: VII).

Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah

Mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I: VIII).

Jangan paksa memegang sayap kekupu,

Nanti merontah tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja,

Lantaran dirinya telah memahami semerbak angina di udara (I: IX)

Perempuan itu kembang dipertamanan mimpi, 

Siapa tandas menghirup kedalamanya, misteri kelembutan bakal sampai

Sehalus tirai kabut berwarna-warni di kutub Maha Kasih (I: X).

Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita 

Menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret langkah

Dan dunia setuju walau berkali-kaliterhempas prahara (I: XI).

Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,

Memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebar tertiupolehnya (I: XII).

Sosok setegar angina ranum melintasi cakrawala, 

Dalam kelembutan dirinya menyimpan ketegasan (I: XIII).

Ia keindahan mengubur leluka di tiap lipatan rapi,

Ia gula-gula yang menguasai pasar kebudayaan (I: XIV).

Keagungan meneladani batin seniman, 

Para penasehat para pelukis, pujangga juga penari

Terlahir atas kobaran api semangat keabadiannya (I: XV).   

Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya 

Dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I; XVI)

Wanita membawa ruhmu ke puncak padang padat pasir lamunan 

Bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I: XVII)

Mereka tak sadar sudah melangkah jauh ke onak duri senyuman

Mengekalkan kelanggengan perasaan (I: XVIII)


Babak II

laki-laki 1 : ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?

Laki-laki 2 : manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?

Laki-laki 3 : disaat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?

Laki-laki 4 : wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya, siapa yang dahulu menepati lautan es cahaya?

Perempuan 1 : wanita dilahirkan melahirkan anak-anaknya, menyusui anak laki-laki dan perempuan.

Perempuan 2 : ia membuka gerbang langit, ketika kisah waktu belum dipelajari.

Perempuan 4 : dia insan tertinggi dimuka bumi, karena kabut singkup mega lenyap langit biru.

Perempuan-perempuan : do’a ibu mencipta senyum menafaskan angkasa bagai gelombang ke pantai berulang-ulang.

Perempuan 2 : perawan cantic sejagat keturunan haw, kepadanya cahaya memancar dan setiap lelaki yang dicintai niscaya kemahkotaan raja. Menjadika awan kerudung baginya, lalu kegundahan menderas bagi menertawai.

Perempuan 3 : begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkalah mengikuti harum kantil menuju taman-taman jauh disana. Jang paksa memegang sayap kekupu, nanti merontah tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saj, lantaran dirinya telah memahami semerbak angina di udara.

Laki-laki : perempuan itu kembang dipertamanan mimpi, siapa tandas menghirup kedalamannya, misteri kelembutan bakal sampai seharlus tirai kabut berwarna-warni di kutub maha kasih.

Perempuan 4 : bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret langkah dan dunia setuju walau berkali-kali terhempas prahara.

Perempuan 3 : ia menciptakan badai-badai maut membuncang, memusar pisau-pisau menjemput usia, batu-batu lebar tertiup olehnya.

Perempuan 4 : sosok setegar angin ranum, melintasi cakrawala, dalam kelembutan dirinya menyimpan ketegasan.

Perempuan 1 : ia keindahan mengubur leluka ditiap lipatan rapi, ia gula-gula yang menguasai pasar kebudayaan.

Perempuan 4 : keagungan meneladani batin seniman, para penasehat para pelukis, pujangga juga penari terlahir atas kobaran api semangat keabadiannya.

Laki-laki : cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya. Dalam rengkuhan kasih renggutan tangan sayang mesra.

Laki-laki : wanita membawa ruhmu ke puncak padang padat pasir lamunan. Bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian.

Perempuan-perempuan : mereka tak sadar sudah melangkah jauh ke onak duri senyuman, mengekalkan kelanggengan perasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...