Sabtu, 03 Agustus 2024

TANAH PANTAI




" Masalah ini tidak boleh di biarkan begitu saja !",kata Sukri setengah berteriak. Malam itu di warung kopi di dekat pos jaga nelayan, di tepi pantai sebuah desa nelayan, Sukri dan Mat Pleki saling bercakap dengan serius, dengan nada yang cukup keras khas nelayan. "Bagaimana kalo kita demo ke balai desa?", balas Mat Pleki. 


Kedua sahabat itu masih terlibat pembicaraan yang serius,sambil menuangkan isi cangkir kopi ke leper,piring kecil yang biasa di pakai untuk mendinginkan kopi panas sebelum di sruput. Aku sendiri duduk diatas bale bambu, jarak tempat ku duduk agak jauh dari bale bambu tempat duduk mereka berdua. Namun pembicaraan mereka lamat-lamat masih bisa aku dengarkan. aku sendiri asyik menikmati secangkir kopi setengah pahit dan rokok filter KW  dari rokok bergambar gudang garam, penghasilan sepi, tidak mampu membeli rokok pabrikan resmi,harganya lebih mahal dari harga dua porsi nasi pecel mbok Darmi. Apa yang mereka perbincangkan aku dengarkan dengan sambil lalu dan tak ada niat ku untuk terlibat dari perbincangan mereka.


"Besok siang,aku akan kumpulkan orang-orang, paguyuban nelayan di desa ini harus kompak bersatu!",ujar Sukri yang jelas aku dengarkan dari tempat dudukku. "Hari Jumat kita bersama-sama ke balai desa,kita minta penjelasan pak Kades!",timpal Mat Pleki.

Kopi ku sudah tinggal separuh,rokok tersisa tiga batang dan udara malam di pantai semakin dingin. Malam ini angin bertiup tidak terlalu kencang, ombak di laut juga tenang, bulan bersinar seperti popongan buah semangka. Pikiran ku masih berlarian ke sana ke mari, perjalanan hidupku berputar seperti kaledioskop di benak ku. Kematian istriku setahun yang lalu masih kerap membayang di ingataku.Rasa kesepian mengelayut di hati, mungkin laut di depan ku dan secangkir kopi dengan rokok menjadi penghibur lara ku, apalagi di malam-malam yang dingin seperti ini.


"Pokoknya,kamu kumpulkan semua warga nelayan,Kri !!,ajak semuanya!,jangan ada yang tertinggal,kita demo pak Kades !", kata Mat Pleki bergetar menahan emosi. Sukri mendengarkan ucapan Mat Pleki dengan wajah yang tegang dan sorot mata yang tajam menatap plagaran ikan,tempat menjemur ikan di pantai. Keduanya lalu terdiam dan meminum kopi sambil menghisap rokok klobot.


Aku tak memperdulikan keduanya, aku sendiri asyik dengan pikiran ku yang berloncatan. gemeretak tembakau yang terbakar terdengar,latu rokok berterbangan, ada satu dus bara yang jatuh ke sarung ku, lobang kecil bekas terbakar oleh bara tembakau tercipta. Untuk sejenak bara api dari tembakau rokok bisa membuyarkan pikiran ku yang berkeliaran ke mana mana. kopi ku hampir habis,rokok juga tinggal sebatang. Udara semakin dingin, sepeda motor butut ku segera ku nyalakan,dan berlalu meninggalkan dua orang yang duduk terpekur menghadap laut, tentu saja secangkir kopi sudah aku bayar.


Jumat pagi,ratusan warga desa yang tergabung dalam paguyuban nelayan ber arak -arak menuju balai desa. Sorot mata mereka penuh kemarahan, sepanjang jalan mereka meneriakkan tuntutan mereka. "Usut penjualan tanah pantai!!!!", kata ketua paguyuban nelayan. Spanduk besar bertulisan " PANTAI TIDAK DIJUAL", dan beberapa spanduk serta poster yang di bawa oleh mereka.


Warga nelayan marah setelah tahu bahwa tanah di pantai sebagian sudah di jual oleh oknum desa, dengan alasan uangnya akan dipakai untuk membangun jedi penahan ombak, tetap saja bagi warga nelayan menjual tanah pantai adalah hal yang tidak di benarkan . Warga nelayan sangat membutuhkan manfaat dari tanah di pinggir pantai untuk aktivitas mereka, seperti sebagai tempat menempatkan perahu ketika musim barat tiba. Bagaimana mana mereka bisa menaikkan perahu ke pantai untuk perbaikan bila tanah pantai menjadi tempat penjemuran ikan semua,bahkan ada yang dipakai untuk membangun gudang dan rumah.


Warga nelayan sudah memenuhi balai desa,mereka meneriaki kepala desa agar keluar menemui mereka. Pak Kades keluar dari ruangan kantor,menuju pendapa balai desa, wajahnya pucat, merasa dirinya terancam, khawatir kalo warga tidak terkendali dan memukuli dirinya. Dengan wajah yang pucat dan kaku, pak kades menemui warga, beliau duduk di kursi meja rapat. "Bapak-bapak silakan duduk",ujar pak kades. "Mari kita musyawarahkan persoalan yang ada,saya senang bapak-bapak datang menghadap kesini,itu artinya bapak-bapak masih percaya sama saya,kepala desa di sini ", kata pak kades yang mulai muncul kepercayaan dirinya. "Mari bapak-bapak kita musyawarahkan dengan kepala dingin dan hati yang nyaman ", lanjut pak kades yang mulai merasa bisa mengontrol warga yang berdemonstrasi di balai desa.


"Pak kades harus menjelaskan,kenapa tanah-tanah di pantai di jual?,bukankah tanah pantai itu sangat penting bagi aktivitas warga nelayan?", tanya Sukri.

"Tenang bapak-bapak,tanah pantai itu memang kami lelang untuk kepentingan bapak-bapak juga, untuk membangun jedi penahan ombak, bapak-bapak tahu sendiri manfaatnya penahan ombak bagi bapak-bapak kan?",jawab pak kades. 


"Tapi kan tidak harus dengan menjual tanah pantai?", kata Mat Pleki." Lalu harus menjual apa? atau memangnya kamu mau nyumbang uang untuk membangun jedi penahan ombak?", jawab pak kades. orang-orang terdiam,lalu kembali suara ribut terdengar dari mulut mereka. " Sekarang kemana uang hasil penjualan tanah?", tanya ketua paguyuban. " Ya...kemana uang hasil penjualan tanah pantai?", kejar Sukri pada pak kades. "Ya.. disimpen dimana uangnya!!??", teriak warga.


Pak kades terdiam,warga nelayan itu semakin gaduh, sebagian warga sudah mulai tidak sabar dengan sikap pak kades, warga mulai menepuk-nepuk meja. Sebentar lagi situasi bisa tak terkendali. "Ayo pak! jawab!",teriak Sukri. Mata Sukri melotot dengan warna merah,begitu juga wajah Mat Pleki warnanya merah padam. "Jawab..!! jawab..!! jawab...! ",teriak warga bersahutan.


"Begini bapak-bapak,uang hasil penjualan itu tersimpan di rekening bank saya", jawab pak kades lemah,hampur tak terdengar. "Lalu bagaimana rincian pengunaan dan pengeluarannya, berapa jumlah uang yang didapat dari penjualan tanah pantai itu? ", tanya ketua paguyuban. Kali ini pak kades hanya terdiam. Tentu saja membuat warga semakin kalap dan hampir saja situasi sudah tidak bisa dikendalikan. Tapi untung ada salah satu sesepuh desa yang berkata, "Saudara-saudara,sebaiknya rapat ini kita tunda sampai jumat depan, sambil menunggu bapak kades menyusun laporan pendapatan dan pengunaan uang hasil penjualan tanah pantai,kita jangan terbawa emosi, kalau terjadi kerusuhan,kita sendiri yang rugi", kata sesepuh desa.


Mendengar saran dari sesepuh desa,warga mulai reda emosinya dan membubarkan diri,sebab sebentar lagi waktu sholat Jumat. Beberapa hari kemudian pak kades dan beberapa perangkat desa mendatangi para pembeli tanah pantai, tampak oak kades membawa kertas seperti piagam yang bertuliskan ucapan "terimakasih telah menyumbang pembangunan penahan ombak".


Omah Mbah Literasi,04 Agustus 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...