Sabtu, 03 Agustus 2024

RANTAI BAJA DARI LANGIT



Sebenar pagi ini aku enggan ikut bapak melaut,bukan karena sakit atau ada keperluan,tapi hatiku masih sedikit khawatir,sebab angin barat dari sore mulai berhembus cukup kencang. Malam hari kilatan cahaya petir seperti cambuk yang terbuat dari cahaya keperakan sesekali nampak berkilat di atas laut. Sungguh pagi ini rasanya aku enggan beranjak dari dipan kayu,rasanya  ingin menutupi tubuhku dengan sarung plekat,berpura-pura sakit atau kedinginan,pokoknya pagi ini aku enggan melaut.


Suara tarhim sudah terdengar dari speker surau di samping rumah,aku sebenarnya sudah bangun,sudah jadi kebiasaan kami para nelayan bangun di jam 3 pagi. Keadaan desa kami jadi ramai di jam-jam itu,para nelayan sudah bersiap untuk melaut,ada yang mengantri membeli nasi bungkus untuk dipakai bekal melaut, kios rokok dan jajan ramai pembeli,penjual es batu untuk membekukan ikan juga ramai. Datanglah ke desaku di jam-jam itu,pasti  akan kau temukan suasana hiruk pikuk seperti itu. 

 Para nelayan akan mendorong gerobak berisi jurigen solar,thermos berisi es batu,timba berisi perbekalan,nasi,jajan,air minum dalam botol bekas air mineral,kopi panas,rokok dan baju ganti serta sarung. Mereka seperti berarak-arakan,mirip karnaval tujuh belasan.


Aku semakin mengencangkan sarung kemul,perasaan malas semakin menjalari tubuhku,bayangan dinginnya air laut,gelapnya laut serta hembusan angin barat yang cukup membuat tulang tulang linu. Suara adzan mulai terdengar,jantungku semaki berdegup kencang,sambil berharap agar bapak tidak memanggilku untuk berangkat melaut. Aku memang tak pernah kuasa menolak ajakan bapak untuk melaut,aku juga tidak tega membiarkan bapak melaut sendiri,tapi sungguh kali ini aku berharap tak ada suara bapak yang memanggilku untuk segera berangkat melaut, entah lah rasa rasanya aku begitu gelisah.


benar saja, selesai suara adzan,berganty suara bapak yang memanggil namaku. Sarung yang menjadi selimut semakin ku kencangkan agar mampu menyembunyikan tubuhku, seperti kepompong,menyembunyikan tubuh dalam selimut sarung plekat. Tapi sekali lagi hatiku selalu tidak bisa menolak ajakan bapak,dengan rasa malas akhir aku turun juga dari dipan kayu tempat tidurku.Dengan langkah terseret-seret,aku mengambil peralatan perang ku.


Pagi ini,laut begitu tenang,angin berhembus dari selatan,udara dingin pegunungan terbawa ke laut,udara terasa dingin, dengan bergegas perahu kami arahkan ke tengah,mula-mula perahu kami gerakkan dengan mengunakan bambu panjang untuk mengarahkan perahu meninggalkan pantai. Di ras sudah cukup ke tengah,mesin diesel kami nyalakan,dua mesin diesel buatan negeri tirai bambu berkapasitas 22 PK menggelegar karena knalpotnya patah dimakan karat air laut.


sesampai di tempat tujuan kami menangkap ikan,pukat mini kami lemparkan,selanjutnya pukat ditarik dengan perahu selama 2 jam,biasanya setelah pukat dalam posisi yang benar dan ditarik dengan perahu bermesin diesel,saat itulah aku bisa meneruskan tidurku,melanjutkan mimpi,sementara bapak akan terus berjaga sambil mengarahkan laju perahu yang menyeret pukat.


Langit di timur mulai memerah pertanda matahari segera akan menyembul dari dasar lautan,aku sudah selesai bergantian sholat dengan bapak,tiba waktunya aku tidur, ya,tidur dalam buaian angin selatan. Kadang sesekali aku tidak tidur,bila cuaca baik dan tak mendung,kau akan menyaksikan pertunjukan spektakuler,saat matahari di cakrawala,burung burung camar bercericit,melayang di atas perahu kami,sambil sesekali mengincar ikan -ikan kecil yang menempel di buritan dan gladak perahu. Percayalah kau akan bermandi cahaya pertama saat matahari di atas horison,suasana selalu menjadi syahdu penuh keagungan.


Kali ini aku hanya melanjutkan mimpiku,berselimut sarung,sesekali terkena percikan air dari bagian serang perahu.reflek saja aku memasukkan kakiku ke dalam sarung. Matahari sudah setinggi 3 galah,aku rasakan perahu mulai terasa naik turun di buai ombak.Bapak membangunkan ku,dengan gelagapan aku bangun.


Bapak menatap ke arah barat,tampak gumpalan awan hitam jauh di langit barat. Wajah bapak terlihat sedikit tegang, kemudian angin mulai bertiup dari arah barat,bendera merah putih di tiang tengah perahu yang tadinya menjuntai lunglai tak berkibar,seketika berkelebatan. Meskipun awan hitam yang kelihatan masih sangat jauh bagiku,tapi wajah bapak kelihatan semakin kaku,sepertinya beliau menakar dan menghitung kecepatan angin dan perkiraan kapan badai muson barat sampai.


Tiba-tiba bapak berteriak, memerintahkan agar segera mengangkat pukat. Dengan tergesa  bapak segera membelokkan arah perahu,dan aku dengan secepat-cepatnya menarik tali yang panjangnya sekitar dua ratus lima puluh depa,tanpa memperdulikan untuk menata tali yang berserakan di atas gladak perahu, ketika tali tinggal lima pulu depa lagi, ombak sudah setinggi satu setengah meter tingginya,angin bertiup sangat kencang,langit yang tadinya cerah berubah hitam pekat,matahari seakan musnah,kami berada di tengah badai angin muson barat.


Kondisi sudah begitu berantakan,pukat belum sempat kami naikkan, bapak dengan pengalamanya bertahun tahun menjadi nelayan segera mengikat tali yang aku tarik tadi dan menjadikan pukat yang masih didasar laut sebagai jangkar,kemudian kedua mesin di matikan. Perahu akhirnya hanya bisa naik turun di banting  ombak setinggi dua meter, perahu menghadap ke arah ombak datang, perahu pelan-pelan hanyut, masih beruntung ada pukat yg beralih fungsi menjadi jangkar, perahu tidak langsung hanyut.


Kondisi semakin berat,badai benar benar mengamuk,kami terperangkap dalam badai. Aku ketakutan, wajah ku pucat seperti tak ada darah yang mengalir,air sudah banyak yang masuk kedalam perahu,dengan sekuat tenaga aku dan bapak menguras air yang mulai mengenangi petak perahu,tenagaku semakin habis,aku juga belum sempat sarapan pagi,bely minum kopi buatan ibu,aku ketakukan pikiranku berlarian kesana kemari,ingat dosa dosaku,takut mati,takut tenggelam didasar laut,ingat gadis pujaan ku, aku sangat panik.


Bapak mengerti kondisiku, aku hanya menatap wajah bapakku,ada rasa jengkel kenapa tadi aku di ajak melaut,padahal aku sangat enggan melaut,tapi aku melihat sedikit ketenangan di wajah bapak. Bapak berbicara padaku, "Berharap lah turun hujan". katanya. Aku oun dengan hati yang takut dan cemas berdoa berharap turun hujan. Bapak berkata lagi,"Allah...Allah.. Allah..", lirik kudengar kata itu di ucapkan bapak,aku pun mengikuti ucapan bapak,"Allah... Allah.... Allah..".


Hampir setengah jam badai mengamuk,kami sudah putus asa..tangan kami sudah kaku,sudah tidak mampu menguras air. Tubuh kami sudah putih pucat warnanya karena dingin, tiba-tiba bapak memegang tanganku sambil berbisik di telingaku,"Jangan putus harapan,berharap lah hujan turun, berpeganglah pada tali Allah,bergantung lah padanya,nanti Dia akan menurunkan rantai baja dari langit" bisik

nya. Aku hanya diam tak mampu memahami bisikan bapak,aku hanya terus menyebut , "Allah... Allah... Allah...emak....emak...emak.".


Tiba tiba hujan turun perlahan,kemudian deras...... 


OMAH MBAH LITERASI, 02 AGUSTUS 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...