kriiiiing.....kriiiiiing.....bunyi nada panggilan di handphone terus berbunyi,suara dalang Kentrung yang keluar dari pengeras suara acara kentrung tradisional nyaris membuat bunyi nada dering handphoneku tidak terdengar.Ditengah kesibukanku sebagai panitia pertunjukan seni tradisional di malam itu, membuatku jarang melihat apalagi membaca pesan singkat yang masuk ke nomor handphone. Mungkin sudah menumpuk puluhan pesan singkat yang masuk ke nomor handphone ku. maklum saja,kesibukan sebagai panitia membuatku harus fokus pada pekerjaan.
Tapi dering suara nada panggilan kali ini terasa begitu jelas di telingaku dan rasanya aku harus segera mengangkatnya,aku segera keluar dari area keramaian,sedikit mencari tempat yang agak tenang dan handphone ku ambil dari tas kecilku,benar saja,beberapa pesan WhatsApp masuk dan beberapa panggilan masuk. Panggilan atas nama abah mertuaku ternyata sudah terhitung 5 kali panggilan,kontan saja ,tanpa pikir panjang aku segera menelpon nomor mertuaku.
"Assalamu'alaikum abah,ada apa abah kok telfon sampai berkali-kali? mohon maaf handphone saya taruh di dalam tas,ada apa abah?". ucapku saat sambungan handphone mulai tersambung.
Dari seberang mertuaku berkata,"Le..le...kamu ini gimana,punya Handphone tapi di telpon kok gak di angkat-angkat,ini istrimu masuk rumah sakit " kata abah. Deg... jantungku seperti copot dari tempatnya,nafasku agak tersengal-sengal,kepanikan seketika menjalari tubuhku,bibir terasa keluh,tapi akal sehatku masih menuntunku untuk sedikit tenang. "Masuk rumah sakit gimana bah ? sakit apa istri saya?" tanyaku. " Istrimu tidak sakit,tapi akan melahirkan kan ",jawab abah di sana.
Air mata tak terasa menetes di sudut kelopak mataku,gambaran istriku terlihat jelas saat beberapa hari kemarin kami berjalan jalan di pematang sawah di pagi hari. Minggu-minggu ini, istriku yang sedang mengandung rutin tiap pagi mengajak jalan-jalan,agar tubuhnya sehat,bugar dan melatih nafas agar membantu persalinannya nanti.
Keesokan harinya,bergegas aku berangkat pulang,jarak tempat acara dengan kota tempat tinggal kami cukup jauh,sekitar 6 jam perjalanan naik bus antar provinsi. Sepanjang perjalanan aku berusaha menenangkan hati,sambil sesekali mengirim pesan singkat menanyakan kondisi istri saya. Hatiku semakin galau ketika pesan singkat yang aku kirim tidak dibalas oleh mertua ku. Bagaimana mana kondisi istriku sekarang, bagaimana dia berjuang antara hidup dan mati sedang aku masih dalam perjalanan.
Bus terus melaju menyusuri jalan di tepian pantai utara Jawa,dalam hatiku terbersit keyakinan saat bus masuk ke satu kota di perbatasan provinsi,anakku sudah lahir,ucapku dalam hati, aku yakin anakku sudah lahir,air mata tak sanggup ku bendung untuk meluncur dari kelopak mataku,rasa bahagia menjalari sekujur tubuh dan hatiku. Benar saja, beberapa pesan singkat dari mertuaku datang,foto anakku yang masih orok dan istriku yang tersenyum,berkali-kali ucapan syukur aku panjatkan.
Seorang nenek tua menghampiriku, wajahnya begitu bersih seakan ada cahaya pada wajahnya,sorot matanya teduh,nenek tersebut duduk di sampingku di bangku rumah sakit.
"Nak, bayimu lahir dihari Jumat Kliwon, menurut adat jawa,bayi yang lahir Jumat Kliwon harus di buang di depan rumah, sampai ada yang mengambilnya dan diberikan lagi kepadamu". ujar nenek tadi. Mataku terbelalak tidak percaya,hal seperti jelas tidak masuk dalam kerangka pikirku, namun karena adab sopan santunku,aku hanya menjawab,"Ngeeh mbah". Tanpa membantah ataupun membenarkan.
Bayi dan istriku sudah boleh pulang kerumahnya,rasa bahagia meliputi semua keluarga kami,anak-anak kami tampak begitu senang dengan adik barunya,ucapan selamat datang dari saudara,sahabat,tetangga dan masyarakat. Acara selamatan dan tasyakuran digelar di rumah kami, sebagaimana tradisi masyarakat di kota kami yang mengundang group rebana untuk membacakan sirah Nabi Muhammad,mertua saya juga mengadakan acara sholawatan di rumah. Perasaan syukur membuncah di hati keluarga kami. Namun ucapan nenek yang aku temui di rumah sakit kembali terngiang di telingaku.
Anakku sudah berusia satu tahun dua bulan,sangat lucu dan mengemaskan, sempurna kebahagiaan kami,hari- hati yang kami lalui begitu terasa indah. Kesibukan kami merawat si kecil dan anak-anak lainnya membuat kami merasakan kebahagiaan seperti dalam surga. Si kecil benar-benar benar anugrah dari tuhan yang melengkapi kebahagian kami. Namun ditengah kebahagiaan kami,kadang kala ucapan nenek tua yang aku temui di rumah sakit bersalin dulu terdengar jelas di telingaku.
Hingga pada satu waktu,hari yang sangat aku takutkan terjadi,istriku tiba-,tiba jatuh sakit,rumah sakit di kota kami tidak mampu menangani sakit istriku,istriku harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan dengan peralatan yang lebih lengkap. Namun nasib berkata lain, istriku meninggal dalam perjuangan melawan penyakit. Mungkin lain kali ku akan ceritakan percakapan-percakapan kami menjelang kepergiannya untuk selama-lamanya pada kesempatan lain.
Manusia hanya merencanakan tuhan pula yang menentukan takdirnya, kebahagian yang melingkupi hari-hari kami kini berganti duka yang mendalam,serasa duniaku runtuh, separuh nafasku sirna. Namun sebagai hamba yang percaya dengan ketentuan tuhan aku dan anak-anak berusaha untuk sabar dan ridho. Tepat tujuh hari wafatnya istriku,si kecil bisa berjalan. Hal itu membuat kami terharu,sedih bercampur bahagia.
Ucapan nenek tua itu kembali terdengar samar-samar di telingaku. Genap empat puluh hari peringatan wafatnya istriku, acara selamatan kami adakan di rumah,doa dan bacaan kitab suci kami kirimkan untuk almarhumah istriku. Malam itu kesedihan kembali larut dalam hatiku. Dan esok pagi si kecil akan berangkat ke kota lain, tempat dimana saudara Perempuanku akan merawat dan membesarkan si kecil.
Hatiku benar-benar kosong,menghisap rokok dan menyeruput kopi menjadi saat yang tepat untuk menenangkan hati. Dalam hatiku bertanya," Benarkah ucapan nenek itu?
Omah mbah literasi,03 Agustus 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar