Selasa, 10 Agustus 2021

PERTEMUAN MUSIM PANAS



 Kereta Api Pasundan  itu berhenti tepat di rel jalur  nomor 9 , Stasiun Kiara Condong. Para penumpang turun bergantian dengan barang bawaan masing-masing , aku masih belum melihat ke hadiran siapapun yang akan menjemputku. Ku pikir aku akan naik angkutan kota sampai rumah.

 “Bagaimana kabarmu? Apa kau menikmati perjalanan ini?” lelaki itu menyapaku lebih dulu. Aku ingin mengatakan hal yang sama , namun rasanya itu seperti hal bodoh!

 “Iya , aku baik-baik saja. Bagaimana dengan mu?” sahutku , sedikit terbata-bata.

 “William Van Den Vetter” lelaki itu memperkenalkan diri.

 “Ivanna Fraskofya Fihelson” kata ku.

Dua orang itu saling menatap dan tertawa terbahak-bahak , mereka tahu mereka sudah saling mengenal. William adalah saudaraku , dia sudah cukup lama tinggal di Bandung dengan saudara-saudara ku yang lain termasuk adikku Walden Fraskofya Fihelson.

 “Apa kau hanya bisa mengajakku tertawa?” ketusku.

 “Mobil ku di sebelah sana , kemarikan barang-barang mu. Biar aku bawakan” ujarnya sambil menunjuk ke arah salah satu mobil yang berada di depan pintu masuk stasiun. William membawa beberapa barang bawaanku. Kami berjalan cepat menuju mobil , cuaca sangat panas! Bandung semakin panas!.

 ***

Bandung , Jawa Barat , Indonesia.

 Seperti kata anak-anak , berlibur ke rumah nenek adalah hal yang paling dinantikan. Di rumah Nyonya besar Fihelson Gredstone , semua berkumpul namun tetap sibuk dengan urusan masing-masing. Aku duduk di kursi ruang tamu , kursi yang bahan dasarnya kayu dengan ukiran gambar naga ini, entah sudah berapa keturunan yang duduk di sini. Wajah Tuan besar Gredstone Xian itu terpampang jelas di tembok  , berhadap-hadapan dengan kursi yang aku duduki. Kakekku Gredstone Xian sudah lama meninggal , di diagnosa terkena penyakit serangan jantung. Lima tahun bertahan dengan penyakitnya Tuhan pun mengambiln nyawanya. Aku masih ingat , saat Nenek , Ibu dan saudara-saudara ku yang lain menangisi kepergian nya. Hari itu , 13 Februari 2001 acara prosesi pemakaman nya di laksanakan. Dibanjiri air mata dan isak tangis keluarga besarnya , Tuhan menyayangimu!

 “Kamu lelah ? Minum dulu es teh nya, udara nya sangat panas” Nenek meletakkan gelas berisi es batu dengan campuran air teh itu di atas meja kayu di depan ku. Aku hanya tersenyum , 

 “Apa kabar?” tanyaku lembut. Nenek menghela nafas panjang , duduk bergeser mendekatiku, mengelus pundakku lembut.

 “Apa kabar ... Semoga kita baik-baik saja” jawab Nenek tersenyum , nampak guratan keriput kulit di wajahnya, rambutnya sebagian banyak sudah memutih namun masih mampu berjalan dan beraktivitas. Suasana hening , Nenek terus menatapaku sambil mengusap lembut  rambutku.

 “Sentuhan ini akan aku rindukan suatu saat nanti”

 *** 

 Mulutku masih menguyah sisa-sisa irisan pizza. Walden meminta sepiring spagetti dan segelas minuman bersoda kepada seorang pelayan kafe.

 Sesungguhnya udara di luar sangat panas , namun Walden tetap memintaku menemaninya berjalan-jalan. Sekalipun sengelilingi kota Bandung, dia akan tetap memaksa. Dan aku membutuhkan pemandangan baru , petualangan baru , cerita baru dan inspirasi baru.

 “Siapa yang akan membayar semua ini Walden?” godaku , dia terlalu banyak memesan makanan hari ini.

 “Kakak lah , Walden hanya merekomendasikan tempat saja. Ikut makan juga , tapi Kakak kan jarang men-traktirku seperti ini” aku terkekeh mendengar jawabannya , anak 15 tahun ini sudah pandai menjawab.

 “Baiklah ... Walden Fraskofya Fihelson”

Dia sangat menikmati makanan dan minuman nya , aku sudah sangat kenyang.

 Kurang lebih lima setengah tahun yang lalu , aku bertemu seorang teman lama di Jogya. Di kafe yang sama , entah itu cabanganya atau pusat nya. Saat itu , dia membicarakan perihal kematian Edelwere Van Enther sahabat akrab ku semasa masih duduk di bangku sekolah menengah akhir.

 ***

 “Di duga , kematian nya di karenakan rasa depresi nya yang sudah meluap-luap Hel!” jelasnya ketika aku sedang meminum Milkshake coklat. 

 “Depresi ? Apa maksud mu? Jangan mengada-ada! Sudah tiga bulan berlalu sejak kematian nya”

 “Iya, kemarin Kakak nya bilang dia depresi berat. Hubungan nya dan orang tuanya kurang baik. Dia bunuh diri , mungkin itu yang terbaik untuk dia. Tapi entahlah” tambahnya. Michel Jonatan masih asyik menikmati kopi susu hangat yang dia pesan dengan kentang goreng balado. Aku termenung sejenak, Edelwere tidak pernah lagi cerita apa pun tentang keluarganya kepadaku semenjak kakak perempuan satu-satunya menikah. Ku aduk-aduk Milkshake coklat ku sambil terdiam tak berkedip. 

 “Hei!!!”

 “Hallo... Hel? Hel?” 

Ku rasakan seseorang menggoyang-goyangkan lengan ku. Membuyarkan lamunanku.

 “Astaga Michel” ternyata itu Michel yang menggoyang-goyangkan lenganku.

 “Habisnya di panggil-panggil malah ngelamun”

 “Iya, kamu ketemu kakaknya Edelwere kapan?” tanyaku semakin menyudutkan pembicaraan.

 “Seminggu yang lalu di pasar malam, tidak sengaja bertemu dan mengobrol” jawabnya. “Kenapa?”

 “Tidak, tapi kejadian saat Edelwere lompat dari balkon aula sekolah itu sangat membekas di ingatanku” keluhku,

 ***

Tiga bulan yang lalu sebelum perbincangan aku dan Michel tadi terjadi,

Pelajaran olah raga telah selesai, anak-anak bisa istirahat meski belum waktunya. Keluar dari aula aku melihat Edelwere berdiri di dekat pagar pembatas aku membiarkannya, lagi pula dia tidak akan terjatuh sebab ada pagar yang menghalanginya. Selesai memakai sepatu, aku menghampiri Edelwere.

 “Hallo El. Ada apa?” tanyaku kebingungan. Edelwere tidak menjawabku, ku lihat tatapan matanya kosong dan mulai berkaca-kaca. Ku putuskan untuk membiarkannya sendiri, anak-anak yang lain sudah turun tinggal aku dan Edelwere saja. Baru menuruni beberapa anak tangga teman-teman ku yang lain heboh 

“Turun El!!! Turun!!!” 

“Ku mohon bawakan matras atau jaring pengaman”

“Panggilkan kepala sekolah dan guru-guru”

“Turun El!!! Jangan nekat”

Apa? Spontan aku menengok ke arah Edelwere, aku terkejut. Kaki Edelwere sudah ada di atas pagar tatapan matanya masih kosong, perlahan memejamkan matanya dan...

Bruk!!!

Dia menjatuhkan tubuhnya kebawah tanah, semua berteriak terkejut, ketakutan keadaan kacau saat itu. Kejadian itu mungkin berlangsung lima menit setelah aku menengok ke arah Edelwere. Aku ingin menahannya, kakiku tiba-tiba saja kaku. Tubuhku gemetar tak karuan, ku saksikan sendiri dengan mata kepalaku saat dia menaiki pagar pembatas dan menjatuhkan tubuhnya. Darah mengalir dimana-mana, aku segera berlari menghampiri tubuh Edelwer yang masih bergerak-gerak.

 “El !!! Bodoh! Kamu bodoh El!” kataku sambil menangis duduk di pinggir tubuhnya. Masih terdengar hembusan nafas nya seperti orang sesak. Bagian wajah sebelah kanan nya hancur retak akibat benturan keras langsung dengan tanah. Posisinya tengkurap, tak cukup berani aku untuk membalikan posisi badannya.

 Guru-guru dan yang lainnya datang mengerubungi tempat kejadian setelah alarm bahaya di nyalakan. Edelwere segera di larikan kerumah sakit, aku dan yang lain tetap di sekolah. Ku coba menghubungi keluarganya tapi tidak satupun dapat di hubungi. Aku semakin cemas, takut terjadi apa-apa. Sampai dimana beberapa anggota kepeolisian datang ketempat kejadian perkara. Mereka meminta saksi mata untuk memberikan penjelasan detail, banyak saksi saat itu tapi teman-teman yang lain memintaku untuk memberikan penjelasan. Ku temui salah satu anggota kepolisian itu, ku ceritakan apa yang ku lihat tadi mereka mencatat nya dan satu jam setelah itu, ada penguman bahwa Edelwere menutup usianya. Kabar itu membuatku harus menangis, aku tidak percaya, saat itu usianya masih delapan belas tahun kita masih kelas sebelas. Terlalu muda untuk kepergiannya yang secepat ini.

 Keesokan harinya semua teman-temannya datang ke acara prosesi pemakamannya, aku masih tidak bisa merelakan kepergian. 

 “Kita harus masuk universitas yang sama! Dan terus bersahabat selamanya” kata-kata itu terngiang di telingaku, sulit untuk menerima kenyataan. Sejak hari itu, aku dan yang lain mulai beradaptasi dengan semua hal yang berbeda. Sampai satu-dua bulan berlalu. 

“Doaku untuk mu El. Orang bodoh”

 ***

 “Hel, udah jam eman sore nih.Masih mau di sini?” tanya Michel tiba-tiba. Aku mengulang semua kejadian itu lagi tadi.

 “Yaudah aku yang bayar, kamu pulang duluan aja. Masih mau ketemu orang nih” jawabku,

 “Yaudah, makasih ya. Samapai jumpa lagi Fihelson”

 “Sampai jumpa lagi”. Di kafe itu aku menghabiskan Milkshake coklat dan menikmati suasana hiruk-piruk perkotaan sampai ayah mengirim pesan kepada ku untuk segera kembali ke rumah.

 ***

 “Kakak!” cubitan keras di tanganku terasa begitu nyeri 

 “Awh!!! Astaga Michel!” teriaku

 “Shttt!!! Michel? Siapa kak?”. Aku lupa, aku baru saja mengingat kembali kejadian lima setengah tahun lalu. Ku kira tadi Michel.

 “Temen kakak, udah kenyang? Ayok pulang” 

 “Udah, bayar dulu baru pulang”

 “Kamu langsung ke mobil aja, kakak bayar dulu. Ini kuncinya”

Aku membayar semua pesanan ke kasir, kemudian kembali ke mobil. Ada Walden yang sudah terlalu kenyang sepertinya. Ku nyalakan mobilnya dan melaju cepat, pulang kerumah nenek sebelum hari semakin gelap.

 “Panas” guman Walden, kunyalakan  AC nya dan kembali fokus kejalanan.

Semua kejadian yang tak terlupakan itu terjadi di musim panas, senang-sedih semuanya biarkan berjalan seperti seharusnya. Dan untuk sahabatku Edelwere Van Enther, semoga tenang disana bersama-Nya kami selalu mendoakanmu. Pada akhirnya semua memilih jalannya masing-masing, aku memilih jalanku menikmati hidup yang seharusnya di nikmati. Michel, ku dengar katanya dia duduk di antara barisan para konglomerat. William, aku tahu dia seorang pelukis hebat karyanya selalu ikut pameran lukis di luar negri. Walden, biarkan dia fokus dengan pendidikannya. Dan nenek, masih sama kabar dan keadaannya selalu baik-baik saja. Dan aku Ivanna Fraskofya Fihelson, pertemuan musim panas yang tak akan terlupakan. Semua yang terjadi adalah warna dari kehidupan, apapapun yang terjadi itu recana Tuhan.

 Mega-mega di langit itu menggumpal,

 Awan mendung, hujan enggan turun

 Matahari bersembunyi, angin berhembus

 Perlahan rintik hujan turun

 Membasahi tanah merah keahiran

 Matahari mulai bersinar

 Pelangi indah tercipta

Ifeginia T.B.T.D, 

06-01-2020, Lamongan, Jawa Timur, Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...