Sabtu, 03 Agustus 2024

FESTIVAL PUISI MUTAKHIR #2

 


Diantar senja merah saga menuju Pendopo Rumah Budaya Pantura , Kemantren, Paciran Lamongan. Berniat temu sua di acara Puisi Mutakhir 2.


Merasa takjub dan bersiap menyambut peristiwa malam ini. Akan bertemu siapa, mengalami apa dan bagaimana merasuk dalam diriku. 


Ternyata panjang juga rute menuju kesana, sampai berakhir pada lingkung langit yang membawaku kembali pada laut. 


Aku seperti menziarahi muasal, bathin yang bertaut dan melahirkan banyak cerita dalam puisi, cerpen dan apapun itu. 


Kapal berkedip dengan nyala lampu, pelabuhan yang kokoh  belum meredup. Angin samudra saat petang selalu menyimpan rahasia tentang perjalanan. 


Aroma dupa menyambutku masuk ke area pendopo. 

Sebuah bangunan dari kayu dan bambu selayak rumah terbuka lebih mirip panggung, eksotik. Di dekorasi natural dengan cabang cabang pohon cemara yang terselip diantara kayu bongkaran pelabuhan. 


Ki Ompong Soedarsono monolog dengan tiga tokoh wayangnya. Dialog-dialog khas wayang, mempresentasikan kelebatan pikiran dan perasaan tentang fenomena jaman ini. Daun kering disetiap simpul aliran darah, simbol menyatu dengan semesta. Ritual menggetarkan ketika Ki Ompong memanggul batang pohon pisang serupa memanggul bumi pertiwi. 


Aku duduk dibawah pohon cemara bersebelahan dengan Sangat Mahendra, seorang tokoh sutradara teater dan penulis sastra yang sudah melanglang buana. 

Kami ngobrol banyak hal, dan dengan pukau suaranya yang berat, dia membaca puisi terbarunya diatas panggung. 


"Alangkah kesepiannya pertemuan kita" kalimat puisinya terasa menusuk sukmaku. Diantara para tokoh yang hadir malam ini, pak Dodi Yan Masfa, Agus Buchori, Japswara dan sederetan orang keren aku merasa sangat kecil. 


Namun, bukankah selalu begitu perasaan perempuan? Tidakkah itu pertarunganku selama ini? pada akhirnya, yang ku lakukan kembali membuka perpustakaan dalam diri. 


Malam larut, semakin membentangkan jalan kesetiaan sebagai manusia. Peristiwa di pantai pantura, membuatku merasa menjadi sebenar-benar manusia. 


Hanya menggunakan  potensi diri, suara, tubuh, imajinasi, perasaan, semua lebur sebagai ekspresi bathin dalam berpuisi. Tak perlu banyak infrastruktur di luar diri. Tak memercik sedikitpun arogansi dan egosentris di sini. Nyaman, mengalir seiring henbusan  bayu. 


Dody Yan Masfa , mengingatkanku pada pak Lenon Machali. Dalam keheninganya, berjalan menyetiai hidup  terus mengasah kalbu dengan kesenian. Kekuatan pikiran dan pengalamannya membuka setiap telinga untuk mau melakukan hal baru, eksplorasi menciptakan kemungkinan-kemungkinan jalan berteater. 


Semula, hanya aku dan Dodi Yan Masfa yang berbicara. Aku memaksa mas Agus Buchori dan Sangat Mahendra untuk nimbrung menemani diskusi. Ruang bincang menjadi lebih hidup dengan lebih banyak perseptif. 


Sangat Mahendra bertutur, bahwa menyiasati puisi mutakhir adalah dengan cara "hadir" menjadi diri sendiri. Merespon kaum generasi Z yang datang, untuk lebih berani lagi mengambil posisi. 


Dan mas Agus Nur Buchori dengan kepiawaiannya sebagai pemantik berhasil membuat diskusi menjadi hangat dan gayeng. Rupanya jam terbang sebagai penulis yang tidak mau disebut sastrawan membuat gojekannya segar. Mengusir kantuk penikmat yang masih bertahan. 


Dan penghargaan tertinggi untuk mas Deni Jazuli, pemangku moment malam ini. Dengan kelembutannya, mampu meracik kegiatan menjadi milik bersama. Tak ada jarak antara para senior dan anak anak muda. Saling asih dan asuh dengan potensinya masing-masing. Semua bermunculan dengan ciamik. 


Mas Deni Jazuli menenggelamkan diri pada kerja-kerja sunyi yang menciptakan pendar bintang. Semoga selalu diberi kekuatan dan keluasan hidup untuk terus berhikmat pada jalan ini, aamiin.

By. Dewi Musdalifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABAR KEMATIAN

  KABAR KEMATIAN Kabar kematian  Di siarkan lewat corong pengeras suara Dari masjid dan surau.  Sahut menyahut, hampir tak ada jeda.  Manusi...